My Cup Of Story – Pohon Kopi – Wulan Murti

on

​Disclaimer: Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory. Diselenggarakan oleh GIORDANO dan nulisbuku.com
Pohon Kopi 

Sejak aku kecil, pendek, dan begitu kurus, emakku selalu menceritakan soal sepetak kebun kopi milik tetangganya di desa sana. Kebunnya cukup luas, sebab punya orang yang bisa dibilang kaya pada masa itu. Sekitar menuju tahun tujuh puluh tahunan. Saat itu masih terlalu banyak lahan pertanian dan perkebunan, belum ada jalan. Mungkin adanya jalur lewat buat orang dan ternak yang digembalakan. Dan, hampir semua orang pada jaman itu begitu kurus sepertiku saat ini, tapi lebih cekatan dan tangguh.

Kebun itu, katakanlah luasnya tiga puluh meter persegi, berada di samping rumah. Ditanami beberapa macam tanaman pangan. Hanya saja, di  sela pohon singkong; pisang; pohon mangga; pohon duren, ada sepuluh pohon kopi. Emak, dan belasan anak lain, paling tertarik dengan pohon-pohon kopi tersebut. Pohon yang tampak asing di antara makanan keseharian mereka.

Di desa tempat emak lahir bukanlah penghasil kopi. Di sana tanahnya merah dan keras. Rumah bagi akar-akar singkong bertumbuh. Namun sepuluh pohon kopi itu berhasil menjadi tanah di kebun sebelah rumah orangtua emakku rumah.

Kebun itu merupakan ruang bermain bagi anak-anak di masa dulu. Di antara gerombolan pohon kopi yang setinggi satu setengah meter lebih, anak-anak menyelinap di sana. Aku bisa hilang, kata emak. Tiap pohonnya begitu rimbun. Banyak ranting-rantingnya. Aku dengan badan sama besar dengan ranting, bersyukur tidak pernah bermain di sana.

Namun pohon-pohon kopi itu akan menjadi paling bagus sekebun saat berbuah. Butir-butir kecil yang berwarna hijau akan memerah matang. Kulitnya mengkilap, merah cerah. Anak-anak yang bermain, yang sebenarnya sedang menggembalakan kambing, akan berhenti menatap pohon kopi sambil menahan liur. Mereka kelaparan dan ingin sekali mencicipi.

Tentu saja ada kalanya mereka nekat memetik buah ranum itu. Berbisik minta ijin lalu menyahut satu dua buah. Kadang lebih. Emakku yang cuma untul bawang, ikut anak gembala ke sana sini cari rumput, ikut mencicipi. Hanya saja, resiko dibentak pemilik kebun ditanggung masing-masing.

Meski begitu, saat musim buah tertentu, pemilik kebun malah menyuruh anak-anak itu memetiknya. Hanya memudahkan dia untuk memanen sekaligus menghadang pencurian. Kupikir sih begitu, tiap kali emak selesai bercerita. Sebab anak-anak boleh memetik lalu memakannya tapi harus mengumpulkan bijinya tanpa tahu hendak dibuat apa.

Begitu kan? Pintar-pintarnya orang jaman dahulu itu. Anak-anak mereka manfaatkan dengan iming-iming imbalan buah. Sementara, anak-anak sampai jaman sekarang pun masih mudah dipintari. Parahnya sekarang dipintari orang bodoh, yang tua pula.

Ah, pohon kopi emak. Sekarang sudah dalam cangkir plastik setinggi jengkal tangan dengan tutup mirip dome bening berlubang. Sedotan besar yang suka berbunyi nyaring mirip terompet diakhir sedot diselipkan di lubang itu. Slurpp. Bikin malu tapi mau. Kopi kini sudah diolah dengan aneka label.

Sekalipun begitu, emakku belum pernah pegang gelas plastik dengan coretan namanya pakai spidol hitam. Baik salah atau benar ejaannya. Emak tidak minum kopi. Sesekali memang beliau seruput kopi instanku. Biar aku tidak kebanyakan kopi katanya. Kalau mau minum sendiri pun minta aku yang bikin. Biasanya lebih enak katanya. Padahal sama-sama instan tinggal seduh.

Lalu, pohon-pohon kopi itu telah ditebangi. Pohon kecil batangnya itu telah tumbang. Sepuluh-sepuluhnya tidak lagi bisa dipanen. Buah-buahnya yang merah ranum tidak bisa lagi jadi incar anak-anak gembala. Kebunnya diratakan, jadi  rumah.

Anak pemilik kebun kini membuka toko kelontong. Berenteng saset kopi instan dipajang di etalase tokonya. Anak-anak tukang gembala yang pulang kerja bangunan mampir beli satu dua saset buat diseduh di  rumah. Tak satu pun dari mereka ingat sepuluh pohon kopi yang dulu amat berjaya.

Tidak satu pun dari emak mereka yang suka cerita soal petik buah merah kopi dan mengumpulkan bijinya untuk diberikan pada pemilik kebun. Sekarang yang mereka tahu luwak lah yang berbuat begitu. Bahkan kopi instan yang makan buahnya juga si luwak. Tak ada yang kenal pada seekor luwak pun yang bekerja bikin itu kopi-kopi. Terlebih, kebun kopinya jauh di pulau lain.

Cuma emakku yang ingat agungnya sepuluh pohon kopi di kebun tetangga. Buah-buah merahnya yang menghias hijau tua daun-daun. Pahit daging buah yang masih muda. Manisnya buah matang dan biji-biji terbanyak yang bisa disetor ke pemilik kebun. Emakku yang suka mengekor anak gembala, pamannya  sendiri.

Pamannya sudah meninggal. Kebanyakan minum kopi pahit tanpa gula yang tebunya diangkat keponakannya yang sopir truk tebu. Tak ada cerita lain dari paman ini kecuali berkat beliau lah emakku kenal pohon kopi. Kemudian aku bisa mendengar cerita  sepuluh pohon kopi yang kini sudah mati.

Kebunnya sudah diratakan. Dijual. Sudah dibangun rumah berkeramik mengkilap. Catnya merah muda norak. Namun cerita emakku masih kudengar seiring pudarnya cat dinding dan aku bertambah tinggi meski masih saja kurus.

oleh: 

Wulan Murti

Tinggalkan komentar